Minggu, 23 September 2012

Kaca


Kau seperti kaca. Di keseharianku, yang tiap pagi selalu ku pandangi wajahku di depan kaca, seperti pun ku pandang gambar manismu di ponselku. Seolah-olah menyiratkan, betapa sempurnanya Sang Kuasa menciptakan diriku dan dirimu, utuh tiada kurang suatu apa pun,

Ku melihat dirimu sebagai bunga mawar di taman mimpiku, sebagai bagian penting yang menjadi sebagian dari tulang rusukku. Kaulah sebuah titik temu yang kemudian menjadi alasanku untuk selalu melihat kaca, melihat sketsa wajahku, apakah aku pantas bersamamu? Dan kau dulu, selalu yakinkan aku, saat kau memintaku untuk tetap di sini, seperti saat kau terisak kala kita akan dipisahkan. Saat kau senantiasa di dekatku ketika aku dipojokkan.



Kau seperti kaca, yang tiap hari rindu aku pandang. Menatap wajahmu, seperti aku menatap cerminan diriku, sebagai pantulan jawaban, “Pantaskah aku berdiri di sampingmu?”. Dan kau jawab: “Pantas”, seperti pun kau dulu genggam tanganku, berjalan tanpa menghiraukan pandangan orang. Seperti katamu, “ Dunia ini milik kita.”

Kau seperti kaca, yang selalu aku bersihkan kala mulai buram. Kala bosan dan sedih menjadi debu yang menutupi roman manismu, pertanyaan pun mengambang di benakku, “Bisakah aku membahagiakanmu? ” Dan kau jawab: “Bisa”. Walau kita belum bisa keliling dunia, senyum di wajahmu tetap menghiasi hari-hari kita.

Kau seperti kaca yang jernih dan bening, dimana cahaya bisa bebas masuk dan menghapuskan kemurunganku, seperti saat intrik datang dan ku terjatuh, namun kau beri aku jawaban ,”Semangat”. Kau menghapuskan keputus asaanku dengan tawa candamu.
……………………………..
Ku sadari, kaulah kaca, yang tergantung manis di dinding hatiku.
Ku sadari pula, kita tak kan selalu bersama, selalu ada badai, yang sedikit demi sedikit membuat keretakkan di kacaku. Selalu ada debu kesalahan yang menumpuk dan susah untuk dihapuskan. Hingga akhirnya kaca itu jatuh.

Pecah.  Tak lagi berbentuk kaca. Seperti pun, canda tawamu, cintamu, sifat manjamu, senyummu, hancur. Menjadi kemarahan dan kebencian yang teramat dalam.

Kaca yang pecah itu, menjadi beling-beling kenangan yang kemudian terserak di seluruh penjuru dunia. Yang merasuk ke jiwa tiap diri yang mirip denganmu. Masuk melalui kaki, menjalar ke nadi dan menyerap ke hati.

Itu menjadi alasan, “Kenapa aku selalu melihat sosok dirimu dalam diri orang lain?”. Seolah-olah diri itu ialah dirimu. kau benar-benar telah menjadi beling-beling kenangan, yang dari diri lain itu masuk ke jiwaku. Membuat perih di hatiku, dan membuat nafasku sesak, seolah-olah oksigen di sini terasa sedikit sekali.

Ku sadari, aku tak bisa memiliki kaca itu lagi. Yang bisa ku lakukan saat ini, ialah mengumpulkan beling-beling kenangan itu, agar aku bisa ingat lagi, sesosok wajah manismu, dalam diri lain yang sangat mirip denganmu. “Apakah aku harus memiliki seseorang yang benar-benar mirip denganmu? Bukan mencari kaca yang mampu menutupi baling-beling kenangan itu?”

………………………….

Tuhan lebih tahu untuk itu.
Yang aku tahu pasti, kau seperti kaca.
Kaca yang aku rindukan lagi kilau magisnya.

...................

(Jefri Mahendra Kisworo- Desember 2011)