Kau seperti kaca. Di
keseharianku, yang tiap pagi selalu ku pandangi wajahku di depan kaca, seperti
pun ku pandang gambar manismu di ponselku. Seolah-olah menyiratkan, betapa
sempurnanya Sang Kuasa menciptakan diriku dan dirimu, utuh tiada kurang suatu
apa pun,
Ku melihat dirimu sebagai bunga
mawar di taman mimpiku, sebagai bagian penting yang menjadi sebagian dari
tulang rusukku. Kaulah sebuah titik temu yang kemudian menjadi alasanku untuk
selalu melihat kaca, melihat sketsa wajahku, apakah aku pantas bersamamu? Dan kau
dulu, selalu yakinkan aku, saat kau memintaku untuk tetap di sini, seperti saat
kau terisak kala kita akan dipisahkan. Saat kau senantiasa di dekatku ketika
aku dipojokkan.
Kau seperti kaca, yang tiap
hari rindu aku pandang. Menatap wajahmu, seperti aku menatap cerminan diriku,
sebagai pantulan jawaban, “Pantaskah aku berdiri di sampingmu?”. Dan kau
jawab: “Pantas”, seperti pun kau dulu genggam tanganku, berjalan tanpa
menghiraukan pandangan orang. Seperti katamu, “ Dunia ini milik kita.”
Kau seperti kaca, yang selalu
aku bersihkan kala mulai buram. Kala bosan dan sedih menjadi debu yang menutupi
roman manismu, pertanyaan pun mengambang di benakku, “Bisakah aku
membahagiakanmu? ” Dan kau jawab: “Bisa”. Walau kita belum bisa keliling
dunia, senyum di wajahmu tetap menghiasi hari-hari kita.
Kau seperti kaca yang jernih
dan bening, dimana cahaya bisa bebas masuk dan menghapuskan kemurunganku,
seperti saat intrik datang dan ku terjatuh, namun kau beri aku jawaban ,”Semangat”.
Kau menghapuskan keputus asaanku dengan tawa candamu.
……………………………..
Ku sadari, kaulah kaca, yang
tergantung manis di dinding hatiku.
Ku sadari pula, kita tak kan
selalu bersama, selalu ada badai, yang sedikit demi sedikit membuat keretakkan
di kacaku. Selalu ada debu kesalahan yang menumpuk dan susah untuk dihapuskan. Hingga
akhirnya kaca itu jatuh.
Pecah. Tak lagi berbentuk kaca. Seperti pun, canda
tawamu, cintamu, sifat manjamu, senyummu, hancur. Menjadi kemarahan dan
kebencian yang teramat dalam.
Kaca yang pecah itu, menjadi
beling-beling kenangan yang kemudian terserak di seluruh penjuru dunia. Yang
merasuk ke jiwa tiap diri yang mirip denganmu. Masuk melalui kaki, menjalar ke
nadi dan menyerap ke hati.
Itu menjadi alasan, “Kenapa
aku selalu melihat sosok dirimu dalam diri orang lain?”. Seolah-olah diri
itu ialah dirimu. kau benar-benar telah menjadi beling-beling kenangan, yang
dari diri lain itu masuk ke jiwaku. Membuat perih di hatiku, dan membuat
nafasku sesak, seolah-olah oksigen di sini terasa sedikit sekali.
Ku sadari, aku tak bisa
memiliki kaca itu lagi. Yang bisa ku lakukan saat ini, ialah mengumpulkan
beling-beling kenangan itu, agar aku bisa ingat lagi, sesosok wajah manismu,
dalam diri lain yang sangat mirip denganmu. “Apakah aku harus memiliki
seseorang yang benar-benar mirip denganmu? Bukan mencari kaca yang mampu
menutupi baling-beling kenangan itu?”
………………………….
Tuhan lebih tahu untuk itu.
Yang aku tahu pasti, kau
seperti kaca.
Kaca yang aku rindukan lagi
kilau magisnya.
...................
(Jefri Mahendra Kisworo-
Desember 2011)